MEDIAKITA- Desa Wolokoli, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka adalah satu-satunya desa pengrajin gerabah di Kabupaten Sikka.
Jarak tempuh dari pusat kota ke Desa Wolokoli kurang lebih 50 kilometer ke arah selatan Kota Maumere.
Kerajinan gerabah yang dihasilkan berupa peralatan dapur, perabot rumah tangga, dan lain-lain diproduksi secara tradisional dengan bahan dasar dari tanah liat.
Tradisi pembuatan gerabah dari tanah liat di desa Wolokoli ini sudah berlangsung ratusan tahun dan merupakan kerajinan peninggalan nenek moyang yang masih eksis hingga saat ini.
Namun, tidak warga Desa Wolokoli mempertahankan warisan leluhur yang menjadi icon Desa Wolokoli itu.
Salah satu warga Desa Wolokoli yang tetap mempertahankan warisan leluhur itu adalah Corfi Carnus Magnus. Meski mengalami kesulitan di tengah pandemi COVID-19, ia tetap membuat gerabah.
“Walaupun penuh dengan segala keterbatan terlebih dimasa sulit pandemi COVID-19 ini, saya tetap mempertahankan tata cara membuat gerabah dari tanah liat ini,\” ungkap Corfi Carnus Magnus.
Warga Dusun Gedo, Desa Wolokoli, Kecamatan Bola Kabupaten Sikka kepada florespedia.com mengatakan dirinya mulai menekuni kemampuannya sebagai pengrajin gerabah sejak usia 19 tahun.
Waktu itu dirinya belajar dari kedua orang tua serta kakak-kakaknya. Dan pada tahun 1993, ia mulai dengan memodifikasi gerabah.
“Awalnya saya belajar buat gerabah dari kedua orang tua dan kakak saya. Saya liat mereka kerja periuk. Saat usia 19 tahun, saya memutuskan untuk belajar sendiri dan akhirnya saya bisa menghasilkan periuk tanah buatan sendiri. Tahun 1993 kami mulai dengan modifikasi gerabah,\” kata Manyus, sapaan akrab pria itu.
Menurut Manyus, saat ini pamor gerabah perlahan turun di kalangan masyarakat Sikka ketika panci, ember, cerek, dan gelas keluaran industri (pabrik) mulai merambah Kabupaten Sikka. Dan sejak saat itu, kegiatan membuat gerabah di Desa Wolokoli pun ikut surut dan mulai ditinggalkan para pengrajin.
\”Kegiatan membuat gerabah ini dalam bentuk kelompok didominasi oleh ibu-ibu. Dan saat itu juga pamor gerabah mulai turun ketika panci, ember, cerek dan barang-barang keluaran dari industri pabrik mulai merambah di Sikka.
Ketika itu juga ibu-ibu mulai tinggalkan kerajian ini,\”sebut Manyus.
Corfi Carnus Magnus, warga Dusun Gedo, Desa Wolokoli, Kecamatan Bola Kabupaten Sikka. Pengrajin gerabah yang tetap eksis hingga saat ini.
Manyus tidak ingin keterampilan membuat gerabah yang diturunkan leluhurnya hilang begitu saja. Ia pun mulai bertekad menekuni pembuatan gerabah Wolokoli ini dengan memutuskan untuk mengikuti pelatihan membuat gerabah.
\”Tahun 1996, saya mengikuti pelatihan pembuatan gerabah dari tanah liat di Bantul Yogyakarta. Selama tiga bulan saya belajar di pusat kerajinan gerabah milik Pak Mudjiono di Bantul. Disana saya belajar membuat guci,vas bunga, keramik tempel dan patung-patung,\” turut Manyus.
Sepulang dari Bantul, Yogyakarta, Manyus pun meneruskan pengetahuannya itu kepada masyarakat Desa Wolokoli dengan membentuk satu kelompok usaha gerabah dengan nama Gerabah Leluhur yangberanggotakan 20 orang yang sebagian besar anggotanya adalah kaum ibu.
Sayangnya, kelompok ini hanya bertahan enam bulan. Mereka beralasan tidak mendapatkan uang langsung dari penjualan gerabah yang dihasilkan.
Kegiatan membuat gerabah, sebut Manyus hanya pada musim kemarau, yakni pada bulan Mei hingga Agustus, sedangkan September hingga April, warga setempat fokus pada pertanian lahan kering. Pekerjaan utama mereka adalah bertani di samping kerajinan membuat gerabah dari tanah liat.
Namun, Manyus tidak patah semangat. Ia tetap bekerja sebagai pengrajin gerabah dibantu oleh sang istri karena dirinya tidak bisa membiayai para pekerja. Lagipula pekerjaan ini juga tidak dikerjakan setiap hari.
Manyus memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk kegiatan membuat gerabah dari tanah liat. Satu hari ia bisa menghasilkan 10 gerabah. Tanah liat itu dicampur cadas, tanah putih dengan perbandingan dua ember tanah liat dicampur satu ember tanah cadas serta setengah gelas serbuk besi. Campuran serbuk besi ini diyakini membuat periuk lebih kuat dibanding hanya tanah dan cadas.
Untuk asbak rokok, ia mampu menghasilkan 10-20 asbak per hari, sementara gerabah sedang untuk vas bunga sebanyak lima buah per hari. Semua itu dia kerjakan secara manual.
Setelah itu, vas bunga atau asbak rokok, dan hasil gerabah tanah liat lainnya itu segera dibakar untuk mendapatkan kualitas yang baik. Begitu juga dengan keramik dinding motif sesuai selera konsumen.
\”Saya membuat gerabah ini sesuai selera konsumen.Semua motif mereka yang tentukan sendiri,\”ungkap Manyus.
Manyus menjual dan mempromisikan melaui teman-teman via telepon.Sebenarnya dirinya bisa menjual dan mempromosikan gerabah ini melalui media online,namun dirinya berpikir tidak bisa melayani permintaan konsumen bila pemesanan melebihi Penyediaan.
“Saya sendiri bisa mempromosikan produk ini melalui media online. Ada yang sudah tahu saya pengrajin jadi pake telepon saja. Selain itu saya berpikir tidak bisa melayani konsumen ketika permintaan terlalu banyak sementara stok terbatas. Selama ini pemesan langsung mengambil gerabah dirumah. Selain itu saya juga mengantar ke alamat pengirim,\” kata Manyus.
Hasil buatan gerabah ini dijual dengan harga bervariasi, mulai dari harga Rp 20 ribu hingga 400 ribu. Sesuai dengan jenis barang.
Pengerajin gerabah ini juga mengatakan hasil karyanya ini sudah pernah ikut sejumlah pameran seperti di Kupang, Denpasar dan Jakarta oleh pemerintah Daerah Kabupaten Sikka.
Manyus berencana membuka galeri khusus gerabah di Kota Maumere namun masih kendala di modal apalagi masa pandemi COVID-19. Dirinya yakin, gerabah dari desanya akan tetap bertahan ditengah serbuan perabot buatan pabrik.
Dirinya yakin perabot buatan pabrik bukan pesaing gerabah Wolokoli yang sudah dikembangkan sejak ratusan tahun lalu.
\”Budaya itu tidak bisa dibuang begitu saja meski ada sesuatu yang dinilai jauh lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupan,\” ujar Manyus.
Manyus merasa bangga ketika tahun 2021 dirinya didatangi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Sikka. Ia diminta untuk membuat patung dengan bahan dasar tanah liat. Dia pun menerima tawaran Kejari Sikka itu.
\”Saya merasa bangga karena untuk pertama kalinya saya membuat patung dari tanah liat. Dan pemesannya adalah Kepala Kejaksaan Negeri Sikka. Karena beliau sangat suka barang antik. Saya pun terima tawaran itu. Dan Puji Tuhan saya bisa menyelesaikannya dan hasilnya memuaskan,\” tutur Manyus.
Tradisi membuat gerabah yang di wariskan nenek moyang mereka adalah sebuah kearifan lokal. Gerabah sendiri sudah menjadi ikon Desa Wolokoli.
Untuk memastikan keterampilan itu tetap dilestarikan, anak-anak Sekolah Dasar di Desa Wolokoli juga mendatanginya untuk belajar membuat gerabah. (florespedia/TR)
Jejak Pengrajin Gerabah di Sikka Tetap Eksis Meski Tergerus Zaman
admin5 min baca