Example 728x250
Opini

Satu Iman, Satu Bangsa : Refleksi Kristen atas Semangat Sumpah Pemuda

35
×

Satu Iman, Satu Bangsa : Refleksi Kristen atas Semangat Sumpah Pemuda

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Dr. Margarita D. I. Ottu, M.Pd.K., M.Pd.

SUARA TTS.COM | SOE – Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda, sebuah momen bersejarah yang menandai kesadaran nasional akan pentingnya persatuan di tengah keberagaman. Tiga kalimat sederhana yang diikrarkan pada tahun 1928—bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu—telah menjadi fondasi bagi lahirnya Indonesia modern. Sumpah itu bukan sekadar deklarasi politik, melainkan juga pernyataan iman kebangsaan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan universal: tekad, pengorbanan, dan cinta terhadap tanah air. Bagi umat Kristen, peringatan Hari Sumpah Pemuda mengandung makna yang lebih dalam. Semangat kesatuan yang diperjuangkan para pemuda 1928 sejalan dengan nilai-nilai iman Kristen yang menekankan kasih, persaudaraan, dan tanggung jawab sosial. Dalam terang Alkitab, peristiwa itu bukan hanya catatan sejarah, tetapi cermin bagaimana kasih Allah bekerja di tengah keberagaman manusia.

Example 300x600

Sumpah Pemuda lahir di tengah situasi penjajahan yang keras. Bangsa Indonesia pada masa itu terpecah oleh politik adu domba kolonial. Namun para pemuda menyadari bahwa tanpa kesatuan, kemerdekaan hanyalah mimpi. Kesadaran inilah yang membuat mereka melampaui batas suku, daerah, dan agama. Sikap ini sejalan dengan ajaran Alkitab dalam 1 Korintus 12:12–13 yang mengatakan bahwa tubuh Kristus terdiri dari banyak anggota, namun tetap satu. Kesatuan sejati bukanlah penyeragaman, tetapi perpaduan yang hidup dalam kasih dan tujuan bersama. Begitu pula bangsa Indonesia, yang memiliki ribuan pulau, ratusan bahasa, dan beragam adat, hanya dapat berdiri teguh bila tiap unsur saling menghargai dan bekerja demi kebaikan bersama. Kesatuan yang sejati, seperti yang diajarkan Yesus dalam Yohanes 17:21, bersumber dari kasih Allah yang mempersatukan semua orang tanpa meniadakan perbedaan.

Cinta tanah air dalam pandangan Kristen tidak dapat dipisahkan dari pengakuan bahwa bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan, seperti tertulis dalam Mazmur 24:1. Dengan demikian, mencintai Indonesia bukanlah penyembahan terhadap bangsa, melainkan bentuk syukur kepada Allah atas anugerah kehidupan dan tanah tempat kita berpijak. Tanah air ini adalah ladang pelayanan, tempat umat Allah diutus menjadi garam dan terang dunia sebagaimana Yesus ajarkan dalam Matius 5:13–16. Cinta tanah air berarti menghargai ciptaan Tuhan: manusia, alam, dan kebudayaan yang membentuk kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, nasionalisme Kristen bukanlah ideologi politik semata, melainkan wujud nyata dari teologi inkarnasi—Allah yang hadir dan berkarya dalam sejarah manusia. Seperti Kristus yang datang dan hidup di tengah dunia, orang percaya pun dipanggil untuk terlibat aktif dalam realitas sosial dan kebangsaan.

Memperingati Sumpah Pemuda berarti memperbarui komitmen iman untuk mencintai Indonesia sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan. Cinta yang sejati diwujudkan dalam kerja, tanggung jawab, dan integritas di tengah masyarakat. Orang Kristen tidak dipanggil hanya untuk menjadi penonton dalam perjalanan bangsa, melainkan menjadi pelaku sejarah yang membawa pengaruh positif. Sumpah Pemuda mengingatkan bahwa persatuan bangsa lahir dari keberanian melampaui ego kelompok. Para pemuda 1928 tidak lagi berpikir sebagai orang Jawa, Batak, Minahasa, atau Ambon, tetapi sebagai orang Indonesia. Demikian pula orang Kristen harus belajar melihat dirinya bukan hanya sebagai anggota gereja tertentu, tetapi sebagai warga Kerajaan Allah yang terpanggil untuk mewujudkan kasih-Nya di tengah masyarakat yang majemuk.

Iman Kristen menempatkan rekonsiliasi sebagai inti Injil. Dalam 2 Korintus 5:18–19, Rasul Paulus menyatakan bahwa Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus dan memberikan pelayanan pendamaian kepada kita. Artinya, orang percaya dipanggil menjadi duta perdamaian di tengah dunia yang penuh perpecahan. Panggilan ini relevan dengan semangat Sumpah Pemuda yang menolak perpecahan dan menyerukan persatuan. Dalam konteks Indonesia masa kini, hal itu berarti menolak intoleransi, kebencian, dan kekerasan atas nama perbedaan. Rekonsiliasi sejati harus diwujudkan dalam kehidupan sosial: di lingkungan kerja, sekolah, dan masyarakat. Nabi Mikha pernah mengingatkan bahwa Tuhan menuntut manusia untuk berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan-Nya. Ketika umat Kristen menghidupi nilai-nilai ini, mereka sesungguhnya sedang meneruskan semangat Sumpah Pemuda dalam bentuk yang lebih rohani dan praksis.

Pemuda memiliki posisi penting dalam sejarah dan dalam iman. Sumpah Pemuda adalah karya anak muda yang berani bermimpi besar dan bertindak nyata. Mereka tidak menunggu kesempatan datang, tetapi menciptakan perubahan. Hal yang sama ditegaskan Paulus kepada Timotius dalam 1 Timotius 4:12: jangan rendah diri karena muda, melainkan jadilah teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dan kesucian. Generasi muda Kristen masa kini menghadapi tantangan berbeda: krisis moral, individualisme, polarisasi sosial, serta derasnya arus informasi yang sering menyesatkan. Namun panggilannya tetap sama—menjadi pembawa terang dan penggerak kebaikan. Masa muda adalah waktu terbaik untuk menanamkan idealisme, memperjuangkan keadilan, dan menumbuhkan kasih. Pemuda Kristen dipanggil untuk hadir tidak hanya di ruang ibadah, tetapi juga di ruang publik: dunia pendidikan, politik, bisnis, dan budaya. Dalam setiap bidang kehidupan, iman menjadi dasar moral dan sumber kekuatan.

Cinta terhadap Allah dan sesama, seperti yang diajarkan Yesus dalam Matius 22:37–39, menjadi hukum terutama dalam hidup orang percaya. Membangun bangsa adalah salah satu wujud nyata kasih itu. Ketika pemuda Kristen bekerja dengan integritas, menolak korupsi, menjaga kejujuran, dan peduli terhadap sesama, mereka sedang menghidupi kasih Allah dalam konteks kebangsaan. Itulah bentuk ibadah yang hidup: iman yang tidak berhenti di gereja, tetapi bekerja di jalan, di sekolah, di dunia kerja, dan di masyarakat luas.

Gereja memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk kesadaran kebangsaan umatnya. Gereja tidak boleh memisahkan urusan iman dari tanggung jawab sosial. Yesus datang bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa, tetapi juga untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia—keadilan, perdamaian, dan kasih. Gereja yang setia kepada Kristus harus menjadi agen perdamaian dan pusat transformasi moral. Dalam semangat Sumpah Pemuda, gereja perlu menanamkan nilai persatuan, menolak ekstremisme, mendidik umat agar menjadi warga negara yang baik, serta mengembangkan pelayanan sosial dan pendidikan bagi generasi muda. Gereja juga dipanggil untuk berdoa bagi pemerintah dan berdialog dengan masyarakat lintas iman demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Ketika gereja terlibat dalam membangun bangsa, ia sedang mewujudkan kasih Kristus yang bersifat menyeluruh—kasih yang tidak hanya berbicara, tetapi bekerja nyata.

Sumpah Pemuda juga dapat dipahami sebagai cermin dari teologi kebersamaan. Iman Kristen berakar pada konsep persekutuan (communio): Allah Tritunggal adalah persekutuan kasih antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dipanggil untuk hidup dalam kasih dan kebersamaan. Semangat Sumpah Pemuda mencerminkan nilai communio itu—menyatukan berbagai identitas dalam satu cita-cita kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat dalam nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi. Semua itu sejalan dengan semangat gereja mula-mula yang hidup saling menopang dan berbagi. Memperingati Sumpah Pemuda berarti merenungkan bagaimana kita memelihara persekutuan yang hidup, baik dalam gereja maupun di tengah masyarakat luas. Kesatuan yang sejati bukan hasil kesepakatan politik semata, tetapi buah dari hati yang mau melayani dan mengasihi.

Hampir satu abad setelah ikrar itu diucapkan, Indonesia menghadapi tantangan baru: globalisasi, krisis moral, ketimpangan sosial, dan disinformasi yang memecah belah. Nilai-nilai persatuan sering tergantikan oleh egoisme dan kepentingan pribadi. Dalam situasi seperti ini, iman Kristen memberikan arah dan harapan. Kasih Kristus menjadi dasar persaudaraan, keadilan Allah menjadi panggilan untuk melawan penindasan, dan pengharapan dalam Kristus memberi kekuatan untuk terus berjuang meskipun dunia belum sempurna. Pemuda Kristen dipanggil menjadi agen perubahan yang berakar pada nilai-nilai Kerajaan Allah. Mereka harus berani menyuarakan kebenaran, kreatif dalam menghadapi tantangan, dan setia meski tidak populer. Jika pemuda 1928 menggunakan pena dan pidato untuk membangkitkan kesadaran bangsa, maka pemuda masa kini dapat menggunakan teknologi, pendidikan, dan kreativitas untuk menebarkan nilai-nilai positif di tengah dunia digital. Seperti tertulis dalam Filipi 2:4, setiap orang hendaknya tidak hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain. Prinsip inilah yang membedakan pemuda Kristen sejati—hidup bukan untuk diri sendiri, tetapi bagi sesama dan bagi Tuhan.

Sumpah Pemuda tidak berhenti sebagai slogan sejarah, tetapi menjadi panggilan moral dan spiritual bagi setiap generasi. Bagi orang Kristen, menghidupi Sumpah Pemuda berarti mewujudkan kasih Allah dalam tiga dimensi yaitu mengasihi tanah air sebagai anugerah Tuhan, mengasihi sesama tanpa memandang suku atau agama, dan menjaga tutur kata yang membangun di tengah masyarakat. Dalam era digital, hal ini berarti menggunakan media sosial dengan bijak, menebar damai, bukan kebencian. Menjadi pembawa damai, seperti dikatakan Yesus dalam Matius 5:9, adalah panggilan setiap anak Allah. Pemuda yang membawa damai adalah pemuda yang mampu menyatukan, bukan memecah; membangun, bukan meruntuhkan.

Sumpah Pemuda 1928 adalah tonggak sejarah yang lahir dari keberanian untuk bersatu, tetapi bagi umat Kristen, ia juga merupakan cermin iman: kesatuan, kasih, dan tanggung jawab sosial merupakan bagian dari panggilan rohani. Iman tanpa tindakan adalah mati, seperti tertulis dalam Yakobus 2:17. Karena itu, memperingati Sumpah Pemuda berarti memperbarui iman yang aktif—iman yang bekerja bagi kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bangsa. Orang Kristen Indonesia dipanggil untuk menjadi saksi kasih Kristus yang mempersatukan, baik di tengah gereja maupun di tengah masyarakat yang plural. Semangat Sumpah Pemuda tidak boleh berhenti pada sejarah 1928, tetapi harus terus hidup di hati setiap orang percaya yang mencintai Tuhan dan bangsanya.

Kiranya setiap 28 Oktober menjadi kesempatan untuk berdoa dan memperbarui komitmen terungkap dalam bait doa “Tuhan, jadikan kami pemuda-pemudi yang beriman teguh, berjiwa nasionalis, dan berhati melayani. Ajarlah kami mencintai Indonesia seperti Engkau mencintai dunia. Biarlah kami menjadi terang bagi bangsa kami, agar Indonesia menjadi berkat bagi dunia.”

Pada Hari Sumpah Pemuda ini, marilah kita mengikrarkan kembali tekad kita sebagai anak-anak Tuhan dan warga Indonesia: bersatu dalam kasih, melayani dengan kerendahan hati, dan menjaga negeri ini dengan doa serta tindakan nyata. Tuhan memanggil kita bukan hanya untuk percaya, tetapi juga untuk berkarya. Jadilah pemuda yang beriman, berkarakter, dan membawa terang Kristus bagi Indonesia!

Example 300250
Example 120x600