Oleh: Lesly N. Ndun, S.Pd.,M.Hum
SUARA TTS.COM | Pembaca yang budiman dan penuh rasa penasaran! Mari kita ulas sesuatu yang sama misteriusnya dengan keberadaan UFO dan sama tragisnya dengan akhir kisah Romeo dan Juliet: kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT)!
Dalam beberapa minggu terakhir, mahasiswa dari Sabang sampai Merauke bak semut keluar sarang, ramai-ramai turun ke jalan protes kenaikan biaya kuliah yang katanya lebih curam daripada tanjakan-tanjakan ke arah Nunkolo.
Alhasil, DPR-RI Komisi X pun kebanjiran audiensi dari berbagai BEM dan perwakilan perguruan tinggi pada tanggal 16 Mei 2024 lalu. Ternyata, masalahnya tidak sesederhana kita waktu mengantuk di kelas pagi, tapi lebih rumit daripada cinta segitiga di sinetron Indosiar.
Sekarang, mari kita bedah angka-angka ini. Anggaran pendidikan kita, katanya 20% dari APBN, yang kalau dikonversi ke rupiah sekitar 665 triliun. Namun, yang sampai ke Kementerian Pendidikan hanya 98 triliun? Sisanya lari ke mana coba?
Daripada terus bertanya-tanya sambil mengelus dada dompet yang makin tipis, mari kita baca apa kata Mas Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. Diharapkan ada solusi konkret yang bisa ditawarkan, biar kita semua tidak perlu pakai strategi “puasa Senin-Kamis” demi membayar uang kuliah.
Menteri Pendidikan kita, Nadiem Makarim, baru-baru ini mengingatkan kita semua tentang prinsip UKT: keadilan dan inklusivitas. Bayangkan UKT ini seperti tangga, yang mampu bayar lebih banyak naik ke tangga yang lebih tinggi, sementara yang dompetnya tipis cukup di tangga bawah saja. Peraturan baru ini cuma berlaku buat mahasiswa baru, jadi buat yang sudah kuliah, tarik napas lega dulu!
Tapi, ada yang bikin deg-degan: kenaikan UKT yang tidak wajar. Nadiem bilang, “Tenang, gaess! Kami akan pastikan kenaikan ini rasional dan tidak bikin dompet menangis.” Selain itu, Mas Menteri juga berjanji akan menambah jumlah dan nilai KIP-K (Kartu Indonesia Pintar Kuliah), biar mahasiswa dari keluarga kurang mampu tetap bisa kuliah tanpa harus puasa Senin-Kamis setiap waktu.
Dalam rapat bersama Komisi X DPR-RI, Menteri bersemangat menegaskan komitmennya untuk menyesuaikan UKT dan memastikan mahasiswa bisa mengajukan banding dengan aman. Komisi X DPR RI, dengan serius menyoroti perlunya UKT disesuaikan dengan kantong mahasiswa.
Meskipun pembahasan tentang student loan masih abu-abu, komitmen untuk melindungi hak mahasiswa disambut dengan riuh tepuk tangan. Jadi, jangan panik dulu. Pemerintah lagi kerja keras biar pendidikan tinggi tetap bisa dijangkau semua orang. Semoga tidak ada lagi yang tiba-tiba harus jual ginjal demi bayar kuliah! Kisah di atas hanyalah sepenggal informasi bagi kita.
Sejatinya, akses terhadap pendidikan tinggi yang terjangkau merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Namun, belakangan ini, isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri telah memicu keresahan di kalangan mahasiswa, calon mahasiswa, dan masyarakat luas (Pratama, 2022).
UKT merupakan sistem pembayaran biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri yang didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa, dengan besaran biaya yang bervariasi tergantung pada penghasilan orang tua/wali mahasiswa (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021).
Rencana kenaikan UKT yang cukup signifikan di beberapa perguruan tinggi negeri telah memicu kekhawatiran bahwa akses pendidikan tinggi bagi calon mahasiswa dari kalangan kurang mampu akan semakin terhambat (Pramudya, 2023). Hal ini tentu bertentangan dengan semangat pemerataan pendidikan yang menjadi salah satu tujuan utama penerapan sistem UKT itu sendiri.
Di sisi lain, pihak perguruan tinggi mengklaim bahwa kenaikan UKT diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas kampus seiring dengan kebutuhan dana operasional yang terus meningkat (Suara.com, 2023).
Pro dan kontra terkait rencana kenaikan UKT terus bergulir, dengan berbagai pihak menyuarakan argumen mereka. Isu ini memiliki relevansi yang cukup besar bagi mahasiswa, calon mahasiswa, dan masyarakat luas, sebab berkaitan langsung dengan akses pendidikan tinggi, kualitas hidup mahasiswa, pemenuhan hak atas pendidikan yang layak, serta kesejahteraan masyarakat secara umum (Susanti, 2021).
Oleh karena itu, kebijakan kenaikan UKT perlu dirumuskan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan dan dampak yang mungkin timbul, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan sistem pembayaran biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri yang didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa dan keluarganya.
Besaran UKT bervariasi dan ditentukan oleh penghasilan orang tua/wali mahasiswa, di mana semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula UKT yang harus dibayarkan. Sebaliknya, bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu akan dikenakan biaya UKT yang lebih rendah (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021).
Penerapan sistem UKT pada awalnya dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya subsidi silang, di mana mahasiswa dari keluarga mampu membayar lebih untuk membantu meringankan biaya bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu, diharapkan tidak ada lagi calon mahasiswa yang tertahan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi semata-mata karena alasan finansial (Susanti, 2021).
Selain itu, sistem UKT juga bertujuan untuk memberikan keadilan dan proporsionalitas dalam pembebanan biaya pendidikan. Mahasiswa dari keluarga mampu diharapkan dapat menanggung biaya yang lebih besar sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka, sementara mahasiswa dari keluarga kurang mampu tidak dibebani biaya di luar jangkauan mereka (Syahrizal, 2019).
Dengan demikian, penerapan UKT diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan tinggi yang lebih terjangkau dan inklusif, sehingga setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tinggi tanpa diskriminasi latar belakang ekonomi.
Argumen utama dari penerapan sistem UKT adalah untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu dan memastikan akses pendidikan tinggi yang lebih terjangkau. Dengan skema pembayaran yang bervariasi sesuai dengan penghasilan orang tua, UKT membantu memastikan bahwa mahasiswa dari keluarga kurang mampu dapat membayar biaya kuliah yang lebih terjangkau.
Selain itu, melalui subsidi silang, mahasiswa dari keluarga mampu juga turut membantu meringankan beban biaya bagi mahasiswa kurang mampu, mencerminkan prinsip keadilan dan solidaritas sosial.
Meskipun sistem UKT dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan tinggi, tetapi masih dihadapkan pada tantangan dan kritik. Salah satunya adalah potensi ketidakadilan dalam penetapan besaran UKT, yang dinilai kurang memperhitungkan kondisi riil keluarga dan dapat memberatkan beban finansial.
Selain itu, ketidaktransparanan dalam penetapan besaran UKT dan penggunaan dana UKT oleh perguruan tinggi juga menjadi kritik yang sering dilontarkan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi UKT masih perlu disempurnakan agar benar-benar mampu mewujudkan pemerataan akses pendidikan tinggi dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, walaupun kebijakan kenaikan UKT belum diterapkan di kampus kami, saya ingin menyelipkan pesan bagi Pemerintah: “Lihatlah apa yang terjadi di sekeliling sebelum membuat kebijakan.
Setiap hari, saya berinteraksi dengan mahasiswa yang sedang berjuang keras untuk mengejar impian mereka. Beberapa dari mereka bahkan harus mencari pekerjaan tambahan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar UKT yang mungkin akan naik.
Saya juga merasakan kekhawatiran mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka semakin tertekan karena harus mempertimbangkan apakah masih mampu untuk melanjutkan pendidikan, ataukah harus mencari alternatif lain yang lebih terjangkau.
Jadi, Mas Mentri, sebelum memutuskan untuk menaikan UKT, pikir-pikir lagi ya, Kita semua berada di kapal yang sama, tidak ada yang ingin ditinggalkan di tengah lautan luas Pendidikan tinggi.
**************************************