Ket. Foto : Nampak Suasana Foto bersama
Laporan Reporter SUARA TTS. COM, DionKota
SUARA TTS. COM | SOE – Pencegahan stunting melaluikebijakan alokasi anggaran telah menjadi prioritaspemerintah pusat dan daerah. Pemerintah setidaknyatelah mengalokasikan anggaran untuk pencegahanstunting sebesar Rp 34,15 trilliun di tahun 2022 dan Rp 30,4 trilliun di tahun 2023. Meski trennya menurun, namun target penurunan prevalensi menjadi 14 persendi tahun 2024 masih menjadi tantangan. Pada 2022, tercatat ada lima provinsi yang memiliki prevalensistunting di atas 30 persen (mengacu pada standarWHO).
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsidengan estimasi prevalesi stunting tertinggi, yakni 19 dari 22 kabupaten dan kota memilki prevalensi stunting di atas 30 persen di tahun 2022. Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menduduki posisi teratas yaitu42,20 persen, sementara Nagekeo 30,50 persen.
“Plan Indonesia dan Seknas Fitra melakukan studi di 11 desa di Kabupaten TTS dan Nagekeo untuk melihatsejauh apa program dan anggaran stunting dialokasikansecara efektif dan efisien untuk mencegah stunting. Beberapa desa di kedua kabupaten juga turut menjadiwilayah studi untuk melihat potret APBDes untukpencegahan stunting,” ujar Dini Widiastuti selakuDirektur Eksekutif Plan Indonesia, ditemui dalam acara Dialog Kebijakan “Tata Kelola PenganggaranPencegahan Stunting: Studi Praktik di KabupatenNagekeo dan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan beberapa desa di Provinsi Nusa Tenggara Timur”, di Jakarta, Kamis (25/7).
“Penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak tugasdan gap yang perlu dibenahi. Pencegahan stunting harus menjadi fokus untuk mencapai Indonesia Emas,” lanjut Dini.
Anggaran Stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Nagekeo, NTT
Anggaran Stunting Kabupaten TTS mencapai Rp 260 miliar, sedangkan Nagekeo mencapai Rp 53 miliar di tahun 2023. Anggaran ini termasuk Dana AlokasiKhusus (DAK) Stunting yang masih mendominasianggaran stunting kedua kabuapten mencapai sekitar53 persen sampai 80 persen dari total APBD keduakabupaten.
“Potret ini menunjukkan masih tingginya ketergantungandaerah terhadap dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) stunting dari pusat. Padahal keberadaan DAK seharusnya menjadi stimulus kemandirian daerah dalampembiayaan berbagai program/kegiatan pencegahanstunting yang dibiayai dari APBD. Ini masih menjadipekerjaan rumah bagi pemerintah kedua kabupaten, apalagi keduanya masih berada dalam kapasitas fiskalrendah sepanjang 2021-2023,” jelas Betta AnugrahInsani selaku peneliti FITRA.
Selain itu, riset ini menunjukkan alokasi DAK Fisik seperti Sanitasi dan Air Minum yang berkontribusi langsung pada setidaknya tiga indikator sensitif (100 persen Air Minum Layak, 90 persen Akses Sanitasi Layak, dan 90 persen stop BABS), umumnya lebih kecil daripada DAK Fisik Kesehatan seperti untuk pembangunan puskesmas, rumah sakit, maupun sarana fisik lainnya. Padahal dari temuan di desa wilayah penelitian, kesulitan air bersih dan sanitasi layak/BABS masih memiliki kesenjangan tinggi.
Hasil Riset sebagai Referensi Implementasi dan Evaluasi Anggaran Stunting
Fasli Jalal selaku Ketua Dewan Badan Pembina Plan Indonesia, yang juga menghadiri dialog kebijakan dan menyampaikan keynote speech menuturkan bahwa risetini akan sangat bermanfaat untuk memberikangambaran bagi seluruh praktisi, pengamat, maupunpembuat kebijakan dalam konteks evaluasiimplementasi program dan anggaran stunting.
“Di masa transisi pemerintahan ini sangat relevan bagikita untuk refleksi bersama tentang capaian dan tantangan program pencegahan stunting selama ini, masih banyak pekerjaan rumah kita ke depan sehinggaperlu sama-sama kita kawal perencanaan dan penganggaran yang lebih efektif untuk pencegahanstunting”, paparnya.
Fasli menambahkan, pencegahan stunting merupakansalah satu dari tujuh program tematik utama Plan Indonesia. Ia berharap lebih banyak pemangkukepentingan, terutama pemerintah, dapat bekerja samauntuk mencegah stunting, memastikan anak terbebasdari stunting adalah langkah penting untuk menjaminterciptanya generasi masa depan yang lebih baik.
Tuti Trihastuti Sukardi selaku Asisten Deputi PSDM, Kedeputian Dukungan Kebijakan Sekretariat Wakil Presiden yang turut hadir sebagai penanggapmerespons bahwa “Dari hasil riset ini akan banyaktindak lanjut yang perlu dilakukan. Salah satunya darisegi memperkuat dana desa. Kami juga berharap kedepannya dialog seperti ini dapat mendorongkeberlanjutan agenda pemerintah pusat dan pemerintahdaerah di masa mendatang yang berkaitan denganpencegahan stunting.”
Siti Fathonah selaku Penyuluh KB Ahli Utama dan perwakilan Badan Kependudukan dan KeluargaBerencana Nasional (BKKBN) menekankan bahwa risetyang dilakukan Plan Indonesia dan FITRA menunjukkanbahwa penganggaran pencegahan stunting, dapatdilakukan dari bawah ke atas (bottom up).
“Seperti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang kemudian hasilnya bisadimanfaatkan untuk diskusi bersama terkaitpenganggaran stunting di level kecamatan. Perludiperhatikan juga siklus perencanaan dan penganggarannya,” tambahnya.
Diskusi yang dilaksanakan di empat lokasi yaitu Jakarta, Kupang, Kabupaten Nagekeo, dan Kabupaten TTS secara hybrid ini melibatkan berbagai instansi lainnya. Beberapa di antaranya adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Pemberdayaan Perempuan, PerlindunganAnak dan Keluarga Berencana, sejumlah organisasiperangkat daerah di Provinsi NTT, Kabupaten Nagekeo, dan Kabupaten TTS, serta kepala desa. Diskusi di empat lokasi ini menjadi rekomendasi bagi pemerintahnasional, daerah, desa serta berbagai pemangkukepentingan lainnya untuk perbaikan sistem anggaranyang sudah berjalan sehingga berkontribusi pada penurunan prevalensi stunting. (siaran Pers Plan)